Monday, 23 August 2010

Martabak Telur




Dulu waktu masih domisili Bandung, untuk mendapatkan makanan yang satu ini ga' usah binggung dan repot.
Selagi ada uang tinggal merapat ke Jl. Burangrang disana ada martabak yang terkenal yaitu Martabak Sanfrancisco.
Walaupun terkenal dengan martamabak manisnya tapi martabak telurnyapun sangat mantaf.
Bumbu dari daging cincangnya berasa.
Untuk menghilangkan kerinduan akan martabak telur ini, kucoba membuatnya sendiri walaupun tak seenak Martabak Sanfrancisco, tapi lumayanlah..

Bahan kulit :
Buat adonan terigu, sedikit garam, air, uleni hingga kalis, rendam didalam minyak goreng  selama kurleb 5 jam

Adonan isi :

  • Oseng bawang merah, bawang putih, bawang bombay, ketumbar, jinten, merica sampai wangi, masukan daging sapi cincang kasar, saus tiram, kecap manis, garam, penyedap. sisihkan.
  • Masukan kedalam wadah: daging cincang tadi, telur ayam, bawang daun, bawang bombay, kol dipotong kecil, garam, merica, aduk rata. sisihkan
Cara memasak :
  • Ambil adonan kulit. pipihkan diatas talenan besar/meja kayu yang telah dibersihkan, pipihkan dengan menggunakan roling pin (klo bisa memipihkan seperti pedagang martabak telur profesional lebih bagus).
  • siapkan minyak di katel ceper/pan yang besar dengan api sedang
  • masukan adonan kulit, lalu beri adonan isi tadi kedalam katel, lipat adonan kulit hingga adonan isi aman didalamnya
  • balikan martabak bila satu sisinya sudah berwarna kuning kecoklatan
  • goreng hingga matang




Continue reading...

Thursday, 19 August 2010

Bioscoop Bandoeng Tempoe Doeloe


Film dan bioskop muncul pertama kali pada dekade-dekade awal abad ke-20, yang merupakan ikon modern dari seni hiburan. Tak lama dari proses pengenalannya, bioskop kemudian segera merambah ke segenap penjuru dunia, mengisi waktu luang orang-orang kota saat itu. Ikon modernitas hiburan tersebut kemudian sampai di salah satu kota yang kita kenal punya segudang kreatifitas, Bandung, 100 tahun lalu, sekitar tahun 1907.

Saat itu dua bioskop pertama berdiri di Alun-alun Bandung dalam bangunan tenda semi permanen yang cukup besar. Bioskop-bioskop tersebut adalah 'De Crown Bioscoop' milik seorang bernama Helant dan 'Oranje Electro Bioscoop' milik Michel.

Pertunjukan perdana bioskop-bioskop tersebut berlangsung pada waktu yang hampir bersamaan. De Crown Bioscoop adalah yang tampil lebih dulu. Oranje Electro Bioscoop menyusul tepat seminggu kemudian dengan pertunjukan perdananya pada Sabtu malam, 1 Desember 1907.

Tenda-tenda bioskop tersebut dihias sedemikian rupa dengan dekorasi bendera dan umbul-umbul. Pada salah satu sisi bagian dalam tenda terpampang sebuah layar besar di mana gambar diproyeksikan. Sisi-sisi lainnya ditempeli poster-poster film unggulan yang akan diputar. Lantai tenda tersebut dilapisi vloer dan alas semacam tikar. Walau sarana pertunjukan film terbilang masih sederhana, tenda bioskop ini tampil cukup menghebohkan untuk ukuran seabad lalu.

Saat itu film yang diputar tentu masih bisu. Oleh karena itu, Michel sang pemilik bioskop menyediakan sebuah orgel-elektrik yang besar sebagai instrumen pengiring gambar-gambar bisu yang ditampilkan. Pertunjukan film dimulai pukul tujuh malam. Namun, beberapa waktu sebelumnya, suara musik dari orgel Oranje Electro Bioscoop telah terdengar meramaikan atmosfer alun-alun. Musik dari orgel tersebut segera menarik perhatian publik untuk datang ke Oranje Electro Bioscoop.

Ruang pertunjukan di bioskop zaman itu dibagi menjadi beberapa kelas dengan harga karcis yang bervariasi. Karcis kelas I yang dijual lebih mahal tentu, diperuntukkan bagi orang Eropa atau mungkin pribumi dari kalangan menak, kelas II, untuk kalangan Timur asing dan pribumi dari kalangan menengah, dan kelas III atau IV untuk kalangan menengah bawah. Pilihan lain untuk menonton film dengan tarif jauh lebih murah adalah di 'feesterrein' (taman hiburan rakyat).

Dari Tenda ke Gedung

Tahun-tahun berikutnya, bioskop di Bandung berkembang dari bentuk tenda semipermanen, kemudian beralih ke bangunan permanen yang juga masih sangat sederhana. Bioskop-bioskop permanen yang kemudian muncul di antaranya adalah Elita Biograph, Varia Park, dan Oriental Show di Alun-alun Timur; Alhambra Bioscoop di Kompa-Suniaraja; Orion Bioscoop di Kebonjati; Vogelpoel Bioscoop di Braga-Naripan; serta Deca Bioscoop yang bertempat tepat di belakang kantor pos pusat, Banceuy.

Saat itu bioskop-bioskop lazim tampil sebagai bagian dari sebuah gedung kesenian atau yang saat itu dikenal sebagai 'roemah koemedie'. Film dalam bioskop adalah salah satu bentuk pertunjukan yang ditawarkan di suatu 'roemah koemedie', di samping pertunjukan-pertunjukan konvensional seperti 'koemedie stamboel', tonil, konser orkes musik, dan sebagainya.

Menjelang akhir dasawarsa 1910-an, bioskop-bioskop di Bandung mulai dibangun dengan bangunan khusus yang dirancang sebagai gedung bioskop. Di Alun-alun Timur, Elita Biograph dan Oriental Show dirombak menjadi bangunan yang jauh lebih memadai dan tampil utuh dengan bentuk standar sebuah gedung bioskop zaman itu.

Bioskop-bioskop terus berkembang dari jumlah dan fasilitasnya. Pada pertengahan 1920-an, di Braga yang saat itu merupakan pemusatan hiburan kalangan Eropa, dibangun Concordia Bioscoop (kemudian populer sebagai Majestic Theater), bioskop elite berstandardisasi Eropa.

Masa Kejayaan

Dalam era film bersuara pada 1930-an, bioskop-bioskop di Bandung makin mengalami kemajuan. Saat itu bioskop-bioskop di Bandung dikuasai satu jaringan besar Elita Concern yang dikelola seorang 'Raja Bioskop' bernama F.F.A. Buse.

Pada masa itu gedung-gedung bioskop baru yang megah dengan arsitektur yang khas, lengkap dengan fasilitas mutakhir, gencar didirikan oleh F.F.A. Buse. Elita Biograph dan Oriental Show di Alun-alun Timur dibangun ulang dalam rupa gedung besar yang modern dengan corak art-deco yang kental.

Dengan bangunan barunya, Elita Biograph bahkan dikenal sebagai salah satu dari dua bioskop terbaik di negeri ini saat itu. Pembaruan fasilitas dan daya tarik dilakukan pula pada bioskop-bioskop Elita Concern lainnya.

Bioskop-bioskop baru pun terus dibangun. Di kawasan Pecinan muncul Roxy Theater, Oranje Bioscoop, dan Oranje Park. Sementara di wilayah timur muncul Rivoli Theater di Kosambi dan Liberty Bioscoop di Cicadas.

Dalam mengagumi kemegahan gedung serta standar kualitas bioskop-bioskop di Bandung, Gravin de Réthy, seorang bangsawan Belgia yang berkunjung ke kota ini pada 1930-an sempat bertutur, 'Zoo'n welverzorgd theater moest Brussel hebben' (Bioskop-bioskop seperti ini sepantasnya ada di Brussel). Komentar Gravin de Réthy menggambarkan bahwa kemajuan bioskop-bioskop di Bandung paling tidak telah menyentuh standar kualitas bioskop di kota-kota besar dunia, seperti Brussel.

Kegemerlapan gedung-gedung bioskop Elita Concern, berimbang dengan animo masyarakat Bandung. Pada masa Hindia Belanda dulu, bioskop dan 'feesterrein' di Bandung tidak pernah sepi pengunjung. Pada akhir pekan bahkan orang harus berebut agar tidak kehabisan karcis.

Lain Dulu Lain Sekarang

Sebagian besar artefak sisa kejayaan bioskop di Bandung masa Hindia Belanda telah punah berganti menjadi bangunan-bangunan baru. Sedikit sisa yang masih bisa kita temukan saat ini adalah bangunan bekas Majestic Theater (sempat bernama Gedung AACC) di Jalan Braga, yang pada masa pasca-kemerdekaan sempat bertahan sebagai bioskop dengan nama Bioskop Dewi.

Saat ini Jalan Braga sendiri tengah di renovasi oleh Pemda Bandung, demi menjaga peninggalan wisata masa lalunya. Di Kosambi masih berdiri pula bangunan bekas Rivoli Teater, yang sekarang digunakan sebagai gedung kesenian Rumentang Siang. Sementara di Alun-alun Selatan masih berdiri bangunan bekas bioskop Radio City milik J.F.W. de Kort yang beroperasi sejak awal 1940-an.
Gedung Bioskop Luxor bergaya arsitektur Art Deco 
 Gedung bioskop Roxy di Jln.Belakang Pasar


source : SHVOONG.COM
Continue reading...
 

CemilanBandung Copyright © 2009 Designed by Ipietoon Blogger Template In collaboration with fifa
Cake Illustration Copyrighted to Clarice